Dampak Pendudukan Jepang di Indonesia

a. Bidang Politik

Dalam bidang politik, Jepang melakukan kebijakan dengan melarang
penggunaan bahasa Belanda dan mewajibkan penggunaan bahasa Jepang.
Struktur pemerintahan dibuat sesuai dengan keinginan Jepang, misalnya desa
dengan Ku,kecamatan dengan So,kawedanan dengan Gun, kotapraja dengan
Syi, kabupaten dengan Ken, dan karesidenan dengan Syu. Setiap upacara
bendera dilakukan penghormatan kearah Tokyo dengan membungkukkan
badan 90 derajat yang ditujukan pada Kaisar Jepang Tenno Heika.

Seperti telah diterangkan di atas bahwa Jepang juga membentuk pemerintahan
militer dengan angkatan darat dan angkatan laut. Angkatan darat yang
meliputi Jawa-Madura berpusat di Batavia. Sementara itu di Sumatera
berpusat di Bukittinggi, angkatan lautnya membawahi Kalimantan, Sulawesi,
Nusa Tenggara, Maluku, dan Irian, sebagai pusatnya di Ujungpandang.
Pemerintahan itu berada dibawah pimpinan Panglima Tertinggi Jepang untuk
Asia Tenggara yang berkedudukan di Dalat (Vietnam).


b. Keadaan Sosial-Budaya dan Ekonomi

Untuk membiayai Perang Pasifik, Jepang mengerahkan semua tenaga
kerja dari Indonesia. Mereka dikerahkan untuk membuat benteng-benteng
pertahanan. Mula-mula tenaga kerja dikerahkan dari Pulau Jawa yang
padat penduduknya. Kemudian di kota-kota dibentuk barisan romusa
sebagai sarana propaganda. Propaganda yang kuat itu menarik pemudapemuda
untuk bergabung dengan sukarela. Pengerahan tenaga kerja yang
mulanya sukarela lama-lama menjadi paksaan. Desa-desa diwajibkan untuk
menyiapkan sejumlah tenaga romusa. Panitia pengerahan disebut dengan
Romukyokai, yang ada disetiap daerah.

Para pekerja romusa itu diperlakukan dengan kasar dan kejam. Mereka tidak
dijamin kehidupannya, kesehatan dan makan tidak diperhatikan. Banyak
pekerja romusa yang jatuh sakit dan meninggal. Untuk mengembalikan
citranya, Jepang mengadakan propaganda dengan menyebut pekerja romusa
sebagai “pahlawan pekerja” atau “prajurit ekonomi”. Mereka digambarkan
sebagai sosok yang suci dalam menjalankan tugasnya. Para pekerja romusa
itu juga dikirim ke Birma, Muangthai, Vietnam, Serawak, dan Malaya.

Saat itu kondisi masyarakat menyedihkan. Bahan makanan sulit didapat
akibat banyak petani yang menjadi pekerja romusa. Gelandangan di kotakota
besar seperti Surabaya, Jakarta, Bandung, dan Semarang semakin
tumbuh sumbur. Tidak jarang mereka mati kelaparan di jalanan atau di
bawah jembatan. Penyakit kudis menjangkiti masyarakat. Pasar gelap
tumbuh di kota-kota besar. Barang-barang keperluan sulit didapatkan
dan semakin sedikit jumlahnya. Uang yang dikeluarkan Jepang tidak ada
jaminannya, bahkan mengalami inflasi yang parah. Bahan-bahan pakaian
sulit didapatkan, bahkan masyarakat menggunakan karung goni sebagai
bahan pakaian mereka. Obat-obatan juga sangat sulit didapatkan.


c. Pendidikan

Pada masa pendudukan Jepang, keadaan pendidikan di Indonesia semakin
memburuk. Pendidikan tingkat dasar hanya satu, yaitu pendidikan enam
tahun. Hal itu sebagai politik Jepang untuk memudahkan pengawasan. Para
pelajar wajib mempelajari bahasa Jepang. Mereka juga harus mempelajari
adat istiadat Jepang dan lagu kebangsaan Jepang, Kimigayo, serta gerak
badan sebelum pelajaran dimulai. Bahasa Indonesia digunakan sebagai
bahasa pengantar di semua sekolah dan dianggap sebagai mata pelajaran
wajib.

Sementara itu, Perguruan Tinggi di tutup pada tahun 1943. Beberapa
perguruan tinggi yang dibuka lagi adalah Perguruan Tinggi Kedokteran (Ika
Daigaku) di Jakarta dan Perguruan Tinggi Teknik (Kogyo Daigaku) di Bandung.
Jepang juga membuka akademi pamong praja (Konkoku Gakuin) di Jakarta,
serta Perguruan Tinggi Hewan di Bogor. Pada saat itu, perkembangan
perguruan tinggi benar-benar mengalami kemunduran.

Satu hal keuntungan pada masa Jepang adalah penggunaan Bahasa Indonesia
sebagai bahasa pengantar. Melalui sekolah-sekolah itulah Jepang melakukan
indoktrinisasi. Menurut Jepang, pendidikan kader-kader dibentuk untuk
memelopori dan melaksanakan konsepsi kemakmuran Asia Raya. Namun,
bagi bangsa Indonesia tugas berat itu merupakan persiapan bagi pemudapemuda
terpelajar untuk mencapai kemerdekaan.


d. Birokrasi dan Militer

Dalam bidang birokrasi, dengan dikeluarkannya UU no. 27 tentang Aturan
Pemerintah Daerah dan UU No.28 tentang Aturan Pemerintah Syu dan
Tokubetshu Syi, maka berakhirlah pemerintahan sementara. Kedua aturan itu
merupakan pelaksanaan struktur pemerintahan dengan datangnya tenaga
sipil dari Jepang di Jawa. Mereka ditempatkan di Jawa untuk melakukan
tujuan reorganisasi Jepang, yang menjadikan Jawa sebagai pusat perbekalan
perang di wilayah selatan.

Sesuai dengan undang-undang itu, seluruh kota di Jawa dan Madura,
kecuali Solo dan Yogyakarta, dibagi atas syu, syi, ken, gun, son, dan ku.
Pembentukan provinsi yang dilakukan Belanda diganti dan disesuaikan
dengan struktur Jepang, daerah pemerintahan yang tertinggi, yaitu Syu.
Meskipun luas wilayah Syu sebesar karesidenan, namun fungsinya berbeda.