Pengendalian di Bidang Pendidikan dan Kebudayaan

Pemerintah Jepang mulai membatasi kegiatan pendidikan. Jumlah sekolah
juga dikurangi secara drastis. Jumlah sekolah dasar menurun dari 21.500
menjadi 13.500 buah. Sekolah lanjutan menurun dari 850 menjadi 20
buah. Kegiatan perguruan tinggi boleh dikatakan macet. Jumlah murid
sekolah dasar menurun 30% dan jumlah siswa sekolah lanjutan merosot
sampai 90%. Begitu juga tenaga pengajarnya mengalami penurunan secara
signifikan. Muatan kurikulum yang diajarkan juga dibatasi. Mata pelajaran
bahasa Indonesia dijadikan mata pelajaran utama, sekaligus sebagai bahasa
pengantar. Kemudian, bahasa Jepang menjadi mata pelajaran wajib di
sekolah.

Para pelajar harus menghormati budaya dan adat istiadat Jepang. Mereka
juga harus melakukan kegiatan kerja bakti (kinrohosyi). Kegiatan kerja bakti
itu meliputi, pengumpulan bahan-bahan untuk perang, penanaman bahan
makanan, penanaman pohon jarak, perbaikan jalan, dan pembersihan asrama.
Para pelajar juga harus mengikuti kegiatan latihan jasmani dan kemiliteran.
Mereka harus benar-benar menjalankan semangat Jepang (Nippon Seishin).
Para pelajar juga harus menyanyikan lagu Kimigayo, menghormati bendera
Hinomaru dan melakukan gerak badan (taiso) serta seikerei.

Akibat keputusan pemerintah Jepang tersebut, membuat angka buta
huruf menjadi meningkat. Oleh karena itu, pemuda Indonesia mengadakan
program pemberantasan buta huruf yang dipelopori oleh Putera.Berdasarkan
kenyataan tersebut, dapat dikatakan bahwa kondisi pendidikan di Indonesia
pada masa pendudukan Jepang mengalami kemunduran.Kemunduran
pendidikan itu juga berkaitan dengan kebijakan pemerintah Jepang yang
lebih berorientasi pada kemiliteran untuk kepentingan pertahanan Indonesia
dibandingkan pendidikan. Banyak anak usia sekolah yang harus masuk
organisasi semimiliter sehingga banyak anak yang meninggalkan bangku
sekolah.Bagi Jepang, pelaksanaan pendidikan bagi rakyat Indonesia bukan
untuk membuat pandai, tetapi dalam rangka untuk pembentukan kaderkader
yang memelopori program Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya.
Oleh karena itu, sekolah selalu menjadi tempat indoktrinasi kejepangan.