Perang Melawan Tirani Jepang

Jepang yang mula-mula disambut dengan senang hati, kemudian berubah
menjadi kebencian. Rakyat bahkan lebih benci pada pemerintah Jepang
daripada pemerintah Kolonial Belanda. Jepang seringkali bertindak sewenangwenang.
Rakyat tidak bersalah ditangkap, ditahan, dan disiksa. Kekejaman
itu dilakukan oleh kempetai (polisi militer Jepang). Pada masa pendudukan
Jepang banyak gadis dan perempuan Indonesia yang ditipu oleh Jepang
dengan dalih untuk bekerja sebagai perawat atau disekolahkan, ternyata
hanya dipaksa untuk melayani para kempetai. Para gadis dan perempuan itu
disekap dalam kamp-kamp yang tertutup sebagai wanita penghibur. Kampkamp
itu dapat kita temukan di Solo, Semarang, Jakarta, dan Sumatra Barat.
Kondisi itu menambah deretan penderitaan rakyat di bawah kendali penjajah
Jepang. Oleh karena itu, wajar kalau kemudian timbul berbagai perlawanan.

a. Aceh Angkat Senjata

Salah satu perlawanan terhadap Jepang di Aceh adalah perlawananan rakyat
yang terjadi di Cot Plieng yang dipimpin oleh Abdul Jalil. Abdul Jalil adalah
seorang ulama muda, guru mengaji di daerah Cot Plieng, Provinsi Aceh. Karena
melihat kekejaman dan kesewenangan pemerintah pendudukan Jepang,
terutama terhadap romusa, maka rakyat Cot Plieng melancarkan perlawanan.
Abdul Jalil memimpin rakyat Cot Plieng untuk melawan tindak penindasan
dan kekejaman yang dilakukan pendudukan Jepang.

Di Lhokseumawe, Abdul Jalil berhasil menggerakkan rakyat dan para santri di
sekitar Cot Plieng. Gerakan Abdul Jalil ini di mata Jepang dianggap sebagai
tindakan yang sangat membahayakan. Oleh karena itu, Jepang berusaha
membujuk Abdul Jalil untuk berdamai. Namun, Abdul Jalil bergeming dengan
ajakan damai itu. Karena Abdul Jalil menolak jalan damai, pada tanggal 10
November 1942, Jepang mengerahkan pasukannya untuk menyerang Cot
Plieng.

Kemudian, pertempuran berlanjut hingga pada tanggal 24 November 1942,
saat rakyat sedang menjalankan ibadah salat subuh. Karena diserang, maka
rakyat- pun dengan sekuat tenaga melawan. Rakyat dengan bersenjatakan
pedang dan kelewang, bertahan bahkan dapat memukul mundur tentara
Jepang. Serangan tentara Jepang diulang untuk yang kedua kalinya, tetapi
dapat digagalkan oleh rakyat. Kekuatan Jepang semakin ditingkatkan.
Kemudian, Jepang melancarkan serangan untuk yang ketiga kalinya dan
berhasil menghancurkan pertahanan rakyat Cot Plieng, setelah Jepang
membakar masjid. Banyak rakyat pengikut Abdul Jalil yang terbunuh.
Dalam keadaan terdesak, Abdul Jalil dan beberapa pengikutnya berhasil
meloloskan diri ke Buloh Blang Ara. Beberapa hari kemudian, saat Abdul
Jalil dan pengikutnya sedang menjalankan sholat, mereka ditembaki oleh
tentara Jepang sehingga Abdul Jalil gugur sebagai pahlawan bangsa.
Dalam pertempuran ini, rakyat yang gugur sebanyak 120 orang dan 150
orang luka-luka, sedangkan Jepang kehilangan 90 orang prajuritnya.

b. Perlawanan di Singaparna

Singaparna merupakan salah satu daerah di wilayah Jawa Barat, yang
rakyatnya dikenal sangat religius dan memiliki jiwa patriotik. Rakyat
Singaparna sangat anti terhadap dominasi asing. Oleh karena itu, rakyat
Singaparna sangat benci terhadap pendudukan Jepang, apalagi ketika
mengetahui perilaku pemerintahan Jepang yang sangat kejam. Kebijakankebijakan
Jepang yang diterapkan dalam kehidupan masyarakat, banyak
yang tidak sesuai dengan ajaran Islam—ajaran yang banyak dianut oleh
masyarakat Singaparna. Atas dasar pandangan dan ajaran Islam, rakyat
Singaparna melakukan perlawanan terhadap pemerintahan Jepang.
Perlawanan itu juga dilatarbelakangi oleh kehidupan rakyat yang semakin
menderita.

Pengerahan tenaga romusa dengan paksa dan di bawah ancaman
ternyata sangat mengganggu ketenteraman rakyat. Para romusa dari
Singaparna dikirim ke berbagai daerah di luar Jawa. Mereka umumnya
tidak kembali karena menjadi korban keganasan alam maupun akibat
tindakan Jepang yang tidak mengenal perikemanusiaan. Mereka banyak
yang meninggal tanpa diketahui di mana kuburnya. Selain itu, rakyat juga
diwajibkaan menyerahkan padi dan beras dengan aturan yang sangat
menjerat dan menindas rakyat, sehingga penderitaan terjadi di manamana.

c. Perlawanan di Indramayu
Perlawanan terhadap kekejaman Jepang juga terjadi di daerah Indramayu.
Latar belakang dan sebab-sebab perlawanan itu tidak jauh berbeda dengan apa
yang terjadi di Singaparna. Para petani dan rakyat Indramayu pada umumnya
hidup sangat sengsara. Jepang telah bertindak semena-mena terhadap para
petani Indramayu. Mereka harus menyerahkan sebagian besar hasil padinya
kepada Jepang. Tentu kebijakan ini sangat menyengsarakan rakyat. Begitu
juga kebijakan untuk mengerahkan tenaga romusa juga terjadi di Indramayu,
sehingga semakin membuat rakyat menderita.

Perlawanan rakyat Indramayu antara lain terjadi di Desa Kaplongan,
Distrik Karangampel pada bulan April 1944. Kemudian pada bulan Juli,
muncul pula perlawanan rakyat di Desa Cidempet, Kecamatan Lohbener.
Perlawanan tersebut terjadi karena rakyat merasa tertindas dengan adanya
kebijakan penarikan hasil padi yang sangat memberatkan. Rakyat yang
baru saja memanen padinya harus langsung dibawa ke balai desa. Setelah
itu, pemilik mengajukan permohonan kembali untuk mendapat sebagian
padi hasil panennya. Rakyat tidak dapat menerima cara-cara Jepang yang
demikian. Rakyat protes dan melawan. Mereka bersemboyan “lebih baik mati
melawan Jepang daripada mati kelaparan”. Setelah kejadian tersebut, maka
terjadilah perlawanan yang dilancarkan oleh rakyat. Namun, sekali lagi rakyat
tidak mampu melawan kekuatan Jepang yang didukung dengan tentara dan
peralatan yang lengkap. Rakyat telah menjadi korban dalam membela bumi
tanah airnya.

d. Rakyat Kalimantan Angkat Senjata
Perlawanan rakyat terhadap kekejaman Jepang terjadi di banyak tempat.
Begitu juga di Kalimantan, di sana terjadi peristiwa yang hampir sama
dengan apa yang terjadi di Jawa dan Sumatra. Rakyat melawan Jepang karena
himpitan penindasan yang dirasakan sangat berat. Salah satu perlawanan
di Kalimantan adalah perlawanan yang dipimpin oleh Pang Suma, seorang
pemimpin Suku Dayak. Pemimpin Suku Dayak ini memiliki pengaruh yang
luas di kalangan orang-orang atau suku-suku dari daerah Tayan, Meliau,
dan sekitarnya.

Pang Suma dan pengikutnya melancarkan perlawanan terhadap Jepang
dengan taktik perang gerilya. Mereka hanya berjumlah sedikit, tetapi dengan
bantuan rakyat yang militan dan dengan memanfaatkan keuntungan
alam —rimba belantara, sungai, rawa, dan daerah yang sulit ditempuh—
perlawanan berkobar dengan sengitnya. Namun, harus dipahami bahwa di
kalangan penduduk juga berkeliaran para mata-mata Jepang yang berasal
dari orang-orang Indonesia sendiri. Lebih menyedihkan lagi, para mata-mata
itu juga tidak segan-segan menangkap rakyat, melakukan penganiayaan,
dan pembunuhan, baik terhadap orang-orang yang dicurigai atau bahkan
terhadap saudaranya sendiri. Adanya mata-mata inilah yang sering membuat
perlawanan para pejuang Indonesia dapat dikalahkan oleh penjajah.
Demikian juga perlawanan rakyat yang dipimpin Pang Suma di Kalimantan
ini akhirnya mengalami kegagalan juga.

e. Perlawanan Rakyat Irian
Pada masa pendudukan Jepang, penderitaan juga dialami oleh rakyat
di Papua. Mereka mendapat pukulan dan penganiayaan yang sering di
luar batas kemanusiaan. Oleh karena itu, wajar jika kemudian mereka
melancarkan perlawanan terhadap Jepang.

Gerakan perlawanan yang terkenal di Papua adalah “Gerakan Koreri”
yang berpusat di Biak dengan pemimpinnya bernama L. Rumkorem. Biak
merupakan pusat pergolakan untuk melawan pendudukan Jepang. Rakyat
Irian memiliki semangat juang pantang menyerah, sekalipun Jepang sangat
kuat, sedangkan rakyat hanya menggunakan senjata seadanya untuk
melawan. Rakyat Irian terus memberikan perlawanan di berbagai tempat.
Mereka juga tidak memiliki rasa takut. Padahal kalau ada rakyat yang
tertangkap, Jepang tidak segan-segan memberi hukuman pancung di depan
umum. Namun, rakyat Irian tidak gentar menghadapi semua itu. Mereka
melakukan taktik perang gerilya. Tampaknya, Jepang cukup kewalahan
menghadapi keberanian dan taktik gerilya orang-orang Irian. Akhirnya,
Jepang tidak mampu bertahan menghadapi para pejuang Irian tersebut.
Jepang akhirnya meninggalkan Biak. Oleh karena itu, dapat dikatakan Pulau
Biak ini merupakan daerah bebas dan merdeka yang pertama di Indonesia.

f. Peta di Blitar Angkat Senjata
Penderiatan rakyat sangat berat. Tidak ada sedikit pun dari pemerintah pendudukan
Jepang yang memikirkan bagaimana hidup rakyat yang diperintahnya.Yang
ada pada benak Jepang adalah memenangkan perang dan bagaimana
mempertahankan Indonesia dari serangan Sekutu. Namun, justru rakyat yang
dikorbankan. Penderitaan demi penderitaan rakyat ini mulai terlintas di benak
Supriyadi seorang Shodanco Peta yang akhirnya tumbuh kesadaran nasionalnya
untuk melawan Jepang.

Sebagai komandan Peta, Supriyadi cukup memahami bagaimana penderitaan
rakyat akibat penindasan yang dilakukan Jepang. Masalah pengumpulan hasil padi,
pengerahan romusa, semua dilakukan secara paksa dengan tanpa memperhatikan
nilai-nilai kemanusiaan, sungguh kekejaman yang luar biasa. Hal semacam ini
juga dirasakan Supriyadi dan kawan-kawannya di lingkungan Peta.

3 komentar

Write komentar
14 Februari 2019 pukul 11.27 delete

Tolol.l, goblog, langsung copas dri buku bangga bgst !!!!

Reply
avatar
14 Februari 2019 pukul 11.28 delete

Gak akan di acc adsense kimak :v

Reply
avatar